Magrib mengambang lirih dan terabaikan
Tuhan kalah di riuh jalan
Orkes jahanam mesin dan umpatan
Malam jatuh di Surabaya
—Silampukau, Malam Jatuh di Surabaya
MALAM baru saja jatuh saat saya memarkir motor di Terminal Manukan setelah menyusuri gang-gang sempit di Manukan Wetan mencari penjual martabak mi yang ternyata sedang libur jualan. Di terminal kecil itu, mulai sore sampai malam hari, ramainya seperti pekan raya. Lihatlah, saat petang, terminal kecil—yang dipenuhi bemo-bemo istirahat setelah lelah seharian bekerja itu—telah bertransformasi menjadi sentra kuliner kekinian. Segala jenis jajanan tumpah di sini. Dari yang biasa-biasa saja, inovatif, sampai yang aneh dan terkesan mengada-ada. Dari harga secengan sampai puluhan. Semua ada, semua laku.

Kawasan Manukan, khususnya Manukan Kulon, memang sesuatu di Surabaya Barat. Kelurahan di Tandes ini semacam “juru selamat” bagi kalangan menengah ke bawah. Di tengah gemerlap Pakuwon, Citraland yang eksklusif, atau kawasan elit lainnya yang tak tersentuh, Manukan adalah Taman Eden bagi mereka yang gajinya di bawah UMR Surabaya.
Semua tersedia di Manukan, dari mulai urusan sandang, pangan, sampai papan, tercecer sejak memasuki kawasannya. Lihatlah sepanjang Jl. Kyai Amir, salah satu pintu masuk Manukan Kulon, toko-toko berserak. Pedagang baju-celana, asesoris HP, toko elektronik, toko emas, warung makan, warung kopi, berdesakan di kanan-kiri jalan. Tak ada trotoar bagi pejalan kaki. Semua tempat penuh barang dagangan. Sedangkan jalanan sangat ramai—deru kendaraan, debu beterbangan.
Seperti tak ada tempat sepi di Manukan. Entah, kawasan ini sempat tidur atau tidak. Yang jelas, dari pagi sampai pagi lagi, Manukan seperti tak pernah terpejam. Geliat ekonomi begitu semarak dan hidup di tempat ini. Ya, sejak beberapa dekade terakhir, setelah industri retail dan real estate menjamahnya, kawasan ini—salah satu tempat pertempuran 10 November 1945 di masa kemerdekaan—menjelma pusat kegiatan ekonomi dan sosial yang ramai. Infrastruktur yang semakin baik serta kemudahan akses transportasi turut mendorong percepatan pembangan itu.
Sebab banyak orang yang bergantung padanya, Manukan Kulon juga menjelma kawasan yang penuh harapan—meski nyatanya, keluarga miskin di keluarahan ini jumlahnya paling banyak dibanding kelurahan lain di Tandes menurut BPS tahun 2015. Dan harapan itu tak hanya dirasakan mereka yang lahir dan besar di Manukan, pula orang-orang yang datang dari tempat-tempat jauh—pendatang di Manukan Kulon juga lebih tinggi dibanding kelurahan lain di Kecamatan Tandes—seperti Dani Saputra, misalnya. Sejak 2015, pemuda dengan tato dan tindik telinga itu telah berebut remah rezeki di Manukan. Dia mengaku dari Bandung, Jawa Barat, dia jualan otak-otak bandung (jajanan tepung kanji goreng yang berbentuk seperti ulat sagu itu) di Manukan.
Jadi, lupakan sejenak julukan Kota Pahlawan, kini Surabaya lebih tepat disebut “Kota Buruh”. Banyak pabrik, perusahaan, tempat usaha lain yang dibangun, dibuka, beroperasi di kota ini sejak Hindia Belanda. Dan tentu semua tempat usaha itu membutuhkan pekerja. Banyak lowongan kerja—dari yang ketengan sampai yang menjanjikan—dibuka, disebar, diinformasikan di mana-mana.
Tak kaget jika Surabaya menjadi salah satu kota tujuan banyak orang. Korea-korea daerah, macam saya, berbondong-bondong memasuki kota metropolitan ini demi mengundi nasib, yang kemudian berimbas pada naiknya laju urbanisasi. Akibatnya, banyak desa kehilangan tenaga kerja produktif, lahan pertanian tak tergarap; gairah hidup, juga harapan, ikun menurun. Desa kian ditinggalkan. Bahkan banyak dari mereka enggan mudik ke desa kecuali hari raya. Uang-uang yang dihasilkan di tanah rantau juga tidak selalu merembes ke kampung halaman.
Surabaya, bagi banyak orang adalah “Tanah Harapan”, sebagaimana London bagi orang India, atau Malaysia bagi beberapa orang di desa di daerah-daerah di Indonesia era 80an sampai 2000an. Surabaya, kata penyair Zawawi Imron, “molek bagai perempuan genit.”
“Dulu jualan keliling, Mas. Sekarang mangkal di terminal ini. Cukup bayar uang pangkal 3 ribu per hari,” Dani berkata kepada saya sesaat setelah membumbui otak-otak pesanan dua gadis remaja langganannya. Di Bandung, lanjutnya, ia sulit mencari kerja.

Tak jauh dari pangkalan Dani, di seberang terminal, seorang pemuda sedang duduk termenung di balik gerobak jualannya. Tampaknya ia baru saja buka. Terlihat dari barang dagangannya yang sama sekali belum berkurang—atau sudah lama buka tapi belum laku? Pemuda itu menjajakan keripik cemilan, dari kripik singkong sampai kripik kentang—pedas-manis, katanya. Kripik-kripik ini bukan dagangannya sendiri. Ia hanya pegawai dan dibayar per bulan. Namanya Zuli, tiga belas tahun merantau dari Pati, Jawa Tengah, ke Manukan Kulon, Surabaya Barat, menjadi tukang jual keripik. Sama seperti Dani, di Pati, Zuli juga tak kunjung mendapat pekerjaan.
“Susah cari kerja di Pati, Mas, seperti cari jodoh. Bahkan sudah 13 tahun merantau ke sini juga tak kunjung dapat jodoh. Hehe,” ujar Zuli mencoba akrab. Saya terbahak mendengarnya. Bukan karena merasa lucu, lebih kepada ingin menunjukkan kepedulian.
Apa yang dikatakan Dani dan Zuli tentu saja bukan barang baru. Di mana-mana, mencari pekerjaan memang tak semudah yang dibayangkan. Oleh karena itulah, di negara ini, pengangguran seperti kutukan yang sulit sekali dihilangkan.
Melamar atau diterima kerja di negara ini—termasuk di Surabaya—sama susahnya seperti perjuangan Timnas Indonesia lolos Piala Dunia. Bukan saja karena syarat-ketentuan atau prosesnya yang berbelit-belit dan berlapis-lapis, tapi juga tak sedikit perusahaan (atau tempat usaha lainnya) yang masih melakukan praktik nepotis (the power of orang dalam) atau praktik-praktik culas lainnya.
Tak semua tempat usaha demikian memang, tapi untuk mengatakannya sedikit—atau tidak ada sama sekali—saya kira juga tidak mungkin. Di Tuban, Jawa Timur, misalnya, beberapa orang rela menukar sekian juta untuk bisa bekerja di pabrik semen. Praktik semacam itu seperti sudah mendarahdaging.
Melamar atau diterima kerja di negara ini, sekali lagi, lebih sulit daripada percaya bahwa Hitler mati di Surabaya. Di negara ini, pintar saja tidak cukup. Anda juga harus berpenampilan menarik, bersedia bekerja di bawah tekanan, minimal 1 tahun pernah bekerja di bidang yang sama, bekerja keras, jujur, disiplin, bla bla bla. Tak cukup di situ, tempat usaha yang membuka lowongan kerja juga tak sedikit yang diskriminatif. Meski Anda sangat berpengalaman dalam suatu bidang tertentu, tapi tinggi badan Anda kurang beberapa senti, atau gaya rambut Anda tidak cocok bagi perusahaan, Anda bisa tidak diterima. Ya, banyak hal tidak masuk akal di negara ini.
Pendidikan harus menumbuhkan kesadaran kritis dan empati, bukan sekadar keterampilan teknis, kata para akademisi. Tapi nyatanya, banyak pabrik tak butuh itu. Pabrik hanya butuh mereka yang taktis, mekanis, tak banyak cakap—hikayat Wiji Tukul dan Marsinah sudah membuktikannya. Pabrik tak suka mereka yang tahu banyak hal. Karyawan perusahaan tak perlu tahu konflik Iran-Israel, atau isu tambang di Raja Ampat, atau bagaimana keringat mereka diperas sedangkan upah yang mereka terima tidak sebanding dengan itu.
Namun, meski tak banyak cakap, tak cerewet, orang-orang seperti Dani tetap tak mungkin masuk radar perekrutan pegawai. Ia bertato dan bertindik. Sebuah tempat usaha mie di daerah Gubeng, misalnya, begitu terang tak akan pernah menerima orang-orang seperti Dani sebagai karyawan. Usaha tempat makan—yang katanya legendaris itu—alergi dengan orang-orang bertato dan bertindik. Mungkin mereka lupa kalau juru masak populer macam Juna Rorimpandey juga bertato dan menindik telinganya.
Begitulah, selain Tanah Harapan, Surabaya juga huthamah bagi mereka yang terpinggirkan. Kota ini bakal menghukum siapa saja yang malas, tak berpendidikan, tak punya koneksi. Akan mencambuk mereka—orang-orang yang kurang beruntung, kalah—dengan kecemasan dan keputusasaan yang berlarut-larut, sampai bayang-bayang kelaparan yang mengerikan menghantui setiap hari. Tak sampai di situ, Surabaya bakal mengutuk mereka—sekali lagi orang-orang yang kurang beruntung, kalah—menjadi “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”; dan memandang rendah mereka bagai budak Abad Kegelapan—seperti kata Ian Welsh dalam artikelnya di HuffPost, “jika Anda terlihat miskin, dan jika Anda miskin cukup lama, Anda akan diperlakukan lebih buruk oleh hampir semua orang. Mereka tahu Anda tidak punya uang, tahu Anda tidak punya kekuasaan, dan dengan demikian tahu mereka dapat menekan Anda, tidak menghormati Anda, atau mengabaikan Anda.” Dan keberuntungan, di Surabaya, seperti hanya milik anak-anak pejabat atau crazy rich bermata sipit dan berkulit putih yang party menenggak anggur di The Consulate atau memamahbiak wagyu A5 di Confit Restaurant; bukan milik saya, Dani, Zuli, atau mereka yang lahir di emperan kota yang bopeng.
***

MALAM kian larut. Saya berdiri tepat di kawasan Yayasan Daarul Muttaqien, Manukan, sambil mengamati pedagang nasi goreng yang sibuk. Benar. Kawasan ini didaulat sebagai ladang rezeki Paguyuban Nasi Goreng Manukan. Sekitar 20an gerobak nasi goreng berjajar di sepanjang Jl. Manukan Tama—dan mereka sibuk sekali. Setiap gerobak memiliki pembelinya sendiri. Yang unik, semua penjual memakai baju seragam kuning terang—kadang hijau di lain hari—bertuliskan “Crew Bursa Nasgor Manukan” di punggungnya. Sayang, saya tak sempat berbincang dengan mereka. Mungkin lain waktu. Sebab setelah mengambil beberapa gambar, saya berlalu begitu saja, melanjutkan keliling sampai ke Kelurahan Lontar.
Dari Lontar, di balik kelontong penuh debu yang berdesakan di sepanjang jalan, Pakuwon yang elit, menjulang, angkuh, gemerlap (mengalahkan bintang-gemintang), tak tersentuh, terlihat. Bangunan itu seperti dunia lain di Lontar. Ia jelas pusat perhatian di antara bangunan toko kelontong tua yang rombeng, pengap, dan sempit. Ia jelas raksasa kapitalis yang banyak menghabiskan energi. Ia habitat mereka yang tak risau soal cicilan napas hidup yang harus dibayar setiap bulan. Ia tempat para bohir menyembah barang-barang bermerek yang hanya jadi dongeng sebelum tidur bagi orang-orang yang berpenghasilan setara pengeluaran mereka sekali makan. Pakuwon adalah univers lain di Surabaya Barat.
Di Pakuwon, semua orang terlihat begitu tajir—bahkan yang berprofesi sebagai penjual bakso gerobakan sekalipun. Raut wajah mereka menjelaskan kondisi keuanganya. Di sebuah restoran cepat saji Amerika mereka enteng saja menghamburkan uang, sama seperti saat saya membelanjakan rupiah di pasar templek di perumahan tempat saya tinggal untuk kebutuhan sebulan. Wajah orang-orang itu—yang mayoritas bermata sipit dan berkulit putih—seperti tak memiliki beban finansial. Berbeda dengan beberapa orang yang saya temui di sekitar Terminal Manukan Kulon.
Manukan dan Pakuwon jelas bumi dan langit, tak sebanding—meski sama-sama terletak di Surabaya Barat. Tak ada otak-otak Dani atau keripik singkong Zuli di Pakuwon. Tak ada paguyuban nasi goreng, tak ada telur gulung secengan, tak ada es timun tiga ribuan. Di Pakuwon, orang-orang memamahbiak di McDonald’s atau nongkrong di kafe-kafe elit sekitar pusat perbelanjaan terbesar di Indonesia: Pakuwon Mall Surabaya (PM), atau ongkang-ongkang kaki di kawasan G-Walk Citraland yang tak jauh dari situ. Intinya, kesenjangan di Surabaya Barat seterang kerlap-kerlip apartemen mewah di Pakuwon—dan itu, kesenjangan sosial itu, kurang-lebih sudah digambarkan A. Idrus dalam prosa Surabaya-nya (1947) berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Dan, saat malam nyaris habis, semesta Surabaya Barat seperti tetap tak mau istirahat. Jalanan tak pernah sepi. Neon-neon menolak padam. Tempat nongkrong—yang elit maupun pinggiran—masih saja sesak dan ramai, menggoda siapa saja untuk menghabiskan gaji bulanan; menjebak orang-orang ke dalam lingkaran konsumsi yang tak berujung, tanpa waktu untuk merenungkan makna hidup yang lebih dalam. Jadilah saya berpikir, orang-orang yang tinggal di Surabaya Barat ini sudah masuk dalam ruang banalitas kota metropolitan, yang membuat pengalaman sehari-hari terasa biasa, monoton, atau kurang berkesan di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampung pinggiran kota yang terpapar virus urban.
Surabaya seolah menuju ke sesuatu yang instan, cepat, dan praktis. Dan perlahan-lahan sifat konsumerisme dan individualisme mulai jelas menampakkan wajahnya di kota ini. Rasa sosial kian pudar dan akhirnya hilang. Di kota ini, sepertinya semakin sedikit tempat bagi kedalaman; semakin sedikit ruang untuk berpikir serius; semakin sedikit orang yang menghamba pada kesejatian. Sedangkan mereka yang mencoba menarik diri dari kekisruhan ini, rasanya akan terbuang, dianggap aneh, tersingkirkan dan sunyi. Ah, apakah saya juga akan jatuh ke lubang yang sama? Entahlah. Saya tak berharap demikian, pun tak mencoba melawannya dengan keras kepala.
Saat saya berkendara di Jl. Mayjend. Jonosewojo menuju Jl. Raya Kampus Unesa, di bawah tiang listrik di seberang Komplek Crazy Rich Surabaya Barat, seorang pria paruh baya bersandar lelah bersama gerobak kayunya yang penuh rongsokan—yang ia parkir di pinggi jalan besar. Saya membelah kawasan Universitas Negeri Surabaya yang luas, pulang ke tempat tinggal saya di Pakal, dengan perasaan yang entah.[]
