Arahnesia.ID – Kurikulum Merdeka pada prinsipnya berusaha memerdekakan guru dan siswa dari pembelajaran yang seragam dan menekan. Nilai-nilai inti Kurikulum Merdeka justru selaras dengan gagasan pendidikan berbasis cinta. Dimana pembelajaran berpusat pada Peserta Didik yang menuntut diferensiasi, asesmen diagnostik, dan pemenuhan kebutuhan belajar individual. Ini sejalan dengan prinsip cinta sebagai perhatian penuh (full attention) terhadap uniknya setiap anak.
Dalam praktiknya Kurikulum Merdeka juga mengangkat profil pelajar pancasila sebagai landasan karakter. Hal ini tercermin dalam dimensi seperti beriman dan berakhlak mulia, gotong royong, dan berkebhinekaan global adalah ekspresi nilai-nilai cinta dalam pendidikan melalui empati, penghargaan, dan humanisme.
Kurikulum Merdeka memberi guru ruang untuk berinovasi sebagi wujud nyata fleksibilitas pembelajaran. Sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk menghadirkan pembelajaran yang humanis, menyenangkan, dan penuh kehangatan emosional. Penguatan kesehatan mental siswa melalui pendekatan pembelajaran positif, psikologi positif, dan manajemen kelas yang restoratif adalah bagian dari Kurikulum Merdeka. Ini sangat dekat dengan prinsip love-based education yang menolak kekerasan, perundungan, dan budaya “takut” kepada guru.
Dalam dinamika pendidikan modern khusunya di Madrasah muncul gagasan dari Menteri Agama RI Nasarudin Umar yang disebut Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebuah pendekatan yang menempatkan kasih sayang, empati, penghargaan terhadap martabat manusia, dan relasi pendidik peserta didik sebagai inti utama proses belajar. Hal ini berakar pada pandangan bahwa manusia hanya dapat tumbuh optimal ketika berada dalam ruang yang aman secara emosional, dipahami, dan dihargai. Dalam konteks sistem pendidikan Indonesia hari ini, KBC menemukan momentumnya melalui Kurikulum Merdeka.
KBC merupakan pendidikan sebagai ruang kemanusiaan yang menekankan beberapa prinsip kunci berikut ini.
- Peserta didik sebagai subjek, bukan objek pembelajaran.
- Relasi saling menghormati antara guru dan siswa.
- Lingkungan belajar yang ramah psikologis, bebas dari kekerasan verbal maupun fisik.
- Pembelajaran yang memerdekakan, yang memberi ruang ekspresi diri, kreativitas, dan makna.
Tokoh pendidikan dunia seperti Paulo Freire menyebutkan bahwa pendidikan hanya mungkin terjadi dalam relasi humanis yang ditopang oleh cinta, dialog, dan penghargaan. Guru yang mengajar dengan cinta tidak berarti mengurangi standar akademik, tetapi justru menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa berani berpikir kritis dan bereksplorasi.
Di era digital, tekanan akademik, masalah kesehatan mental, dan disrupsi sosial membuat anak lebih rentan terhadap stres dan kehilangan arah hidup. Banyak studi menunjukkan bahwa dukungan emosional guru meningkatkan motivasi belajar. Begitu pula hubungan positif di sekolah menurunkan perilaku negatif, Hingga rasa aman psikologis memperkuat kemampuan kognitif dan kreativitas. Dengan demikian, pendidikan berbasis cinta bukan sekadar idealisme, melainkan kebutuhan struktural untuk menyiapkan generasi yang tangguh, adaptif, dan etis.
Beberapa langkah yang memungkinkan integrasi KBC dalam konteks Kurikulum Merdeka seperti berikut ini.
- Manajemen kelas dengan pendekatan restoratif, bukan hukuman keras.
- Pembiasaan refleksi dan dialog, bukan instruksi sepihak.
- Proyek kepemimpinan empatik melalui P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
- Penguatan kompetensi sosial-emosional melalui kegiatan mindfulness, journaling, dan mentoring.
- Peran guru sebagai pendamping tumbuh, bukan pengendali.
KBC adalah esensi dari pendidikan yang memerdekakan. Kurikulum Merdeka sebenarnya sudah menyediakan ruang itu: fleksibel, humanis, dan berorientasi karakter. Yang dibutuhkan adalah keberanian guru untuk tidak hanya mengajar dengan pengetahuan, tetapi juga dengan ketulusan, empati, dan cinta kepada peserta didik. Ketika cinta menjadi dasar kurikulum, pendidikan tidak hanya mencetak lulusan, tetapi membentuk manusia yang utuh, berakhlak, dan mampu menghadapi dunia dengan hati yang kuat.
KBCmenekankan hubungan kasih sayang dan penghargaan antar manusia, keterlibatan emosional yang sehat dalam pembelajaran, pendidikan yang memanusiakan dan membebaskan, penumbuhan empati, kepedulian, dan tanggung jawab moral. Cinta dalam pendidikan dipahami sebagai rahmah, kehadiran guru sebagai murabbi yang mendampingi tumbuhnya fitrah siswa.
Dalam hal menuangkan KBC jug adikenal ekoteologi sebagai pendekatan teologis yang melihat hubungan manusia alam dalam bingkai ketuhanan. Dalam Islam Dimana manusia sebagai khalifah (QS 2:30), alam sebagai ayat Allah, amanah menjaga bumi (QS 7:56), dan larangan merusak (fasad) dan perintah memakmurkan bumi.
KBC dan ekoteologi memiliki fondasi yang sama: rahmatan lil ‘alamin. Cinta menumbuhkan empati kepada seluruh makhluk. Dalam logika kurikulum berbasis cinta, mencintai manusia berarti juga mencintai lingkungan tempat untuk hidup. Dalam ekoteologi Islam, menjaga alam adalah ekspresi cinta kepada Allah karena, alam adalah ciptaan, merawat alam sama dengan menghormati Sang Pencipta, dan penyelamatan ekologis adalah bentuk ibadah sosial (ibadah ghairu mahdhah).
Dengan demikian, kurikulum berbasis cinta menyediakan ruh humanisasi, dan ekoteologi menyediakan ruh spiritualisasi keduanya bertemu dalam pendidikan yang menyatukan kemanusiaan dan keberlanjutan lingkungan.
Model integrasi dalam pembelajaran madrasah mencerminkan irisan antara KBC dengan Kurikulum Merdeka. Pembelajaran Aqidah (Tauhid) menjelaskan alam sebagai tanda kebesaran Allah Swt agar siswa diajak merasakan cinta dan kagum. Pendidikan Akhlak dengan tema “rahmah terhadap makhluk” dengan praktiknya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan.
Pelajaran Fiqih melalui pembahasan thaharah, halal haram dan fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah). Pelajaran IPA mengajak siswa untuk melakukan observasi ilmiah dikaitkan dengan nilai spiritual dan cinta alam. Demikian juga IPS dan SKI menjadi refrensi kehidupan ulama dan tokoh Muslim yang membangun peradaban ekologis (misalnya: sistem irigasi, konservasi air).
Melalui layanan kokurikuler madrasah juga dapat membuat proyek melalui Green Madrasah Berbasis Cinta, Pesantren Hijau dengan hidroponik, bank sampah, konservasi air. Ekoteologi Qur’ani sebagai kajian ayat-ayat kauniyah.dan gerakan Rahmah untuk Bumi melalui aksi kebersihan, penghijauan, kampanye ekologis.
Relasi guru siswa dalam kurikulum cinta dan ekoteologi dimana guru menampilkan keteladanan ramah lingkungan. Memberi ruang pada siswa untuk menghargai makhluk bukan hanya sebagai objek sains tetapi sebagai ciptaan Tuhan. Bahasa pengasuhan (nurturing language), bukan instruksi keras, untuk menumbuhkan semangat menjaga lingkungan.
Manfaat implementasi KBC di Madrasah diantaranya membangun religiositas ekologis, sehingga siswa tidak hanya paham sains lingkungan, tetapi memiliki rasa tanggung jawab spiritual. Menurunkan perilaku destruktif di Madrasah/Sekolah, karena kurikulum berbasis cinta mendorong budaya empati, konflik dan bullying berkurang. Menghasilkan generasi yang ekologis dengan menciptakan generasi Muslim yang literat ekologi, literat spiritual, memiliki rasa cinta dan tanggung jawab pada bumi, dan mampu memberi solusi ekologis berbasis nilai keislaman. Dengan demikian, kurikulum yang digunakan di lingkungan Madrasah hari ini Adalah Kurikulum Merdeka yang bermuatan cinta sebagai suplemen untuk menyiapkan generasi lebih humanis dan adapatif.
Daftar Pustaka
- Freire, P. (2004). Pedagogy of the Heart. Continuum.
- Freire, P. (2018). Pedagogy of the Oppressed. Bloomsbury.
- Lickona, T. (1991). Educating for Character. Bantam Books.
- Noddings, N. (2005). The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education. Teachers College Press.
- Sahlberg, P. (2021). Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? Teachers College Press.
- Zakaria, F. (2020). Education for Life: Humanizing Pedagogy and Care-Based Learning. Routledge.(*)








