Ketika Langit Meminta Seseorang Menjadi Superman

Ketika Langit Meminta Seseorang Menjadi Superman | Ilustrasi : Arahnesia.id

Sore menjelang malam itu, seharusnya berjalan biasa saja.

Langit Jakarta yang mulai memudar diwarnai rona jingga tua, membuang sisa-sisa panas siang ke pelukan angin yang membawa aroma debu dan harapan. Namun, di sebuah rumah yang jauh, di antara senyapnya petang, rutinitas itu tiba-tiba terhenti. Seorang ayah berpamitan untuk beristirahat. Tak ada gemuruh, tak ada pertanda. Hanya keheningan yang datang mendadak keheningan yang terasa begitu tebal, menutup hari dengan cara yang paling sunyi dan tak terperkirakan.

Di rumah itu, di antara cahaya lampu yang baru menyala dan bayangan senja yang memudar, seorang adik perempuan menjadi saksi tunggal. Ia berdiri di ambang pintu, melihat siluet ayahnya rebah. Dalam kebekuan yang tiba-tiba, ia menyaksikan ayahnya tertidur untuk selamanya.

Sejak saat itu, keheningan sore tak lagi damai baginya. Aroma udara senja kini berbau kehilangan, dan sudut ruangan tempat ayahnya jatuh seolah menjadi titik beku, tempat di mana waktu dan kebahagiaan sejenak terhenti. Di mata kecilnya, dunia baru saja menunjukkan wajahnya yang paling kejam.

Jakarta: Kota Para Pengejar Mimpi dan Patah Hati

Sementara itu, ribuan kilometer jauhnya, di jantung kota Jakarta yang tak pernah tidur, seorang anak laki-laki sedang meniti langkah. Jakarta adalah medan perangnya: tempat di mana mimpi ditempa dengan api ambisi dan diuji di bawah terik matahari keras. Ia datang membawa beban harapan, ingin mengubah nasib keluarga, ingin melukis senyum bangga di wajah kedua orang tuanya sebagai monumen dari kerja kerasnya.

Namun ketika kabar itu menderu masuk, seolah-olah seluruh fondasi kehidupannya runtuh dalam sekejap.

Dunia tiba-tiba kehilangan pijakan. Ini bukan hanya metafora; ini adalah sensasi fisik yang nyata. Ia merasa seolah-olah lantai yang ia injak, yang selama ini memberinya keyakinan untuk melangkah, lenyap tak berbekas. Segala tujuan—visi yang ia bangun untuk masa depan, ambisi yang menopangnya—semua mendadak menjadi abu. Waktu, yang biasanya bergerak terburu-buru di kota itu, kini seakan berhenti, terperangkap abadi di antara senja dan malam. Ponsel yang ia genggam terasa begitu dingin, dan suara ibunya dari negeri asing yang seharusnya menjadi penguat kini terdengar seperti isakan yang jauh dan pecah, menggema dalam kebisuan yang mematikan. Dalam satu panggilan telepon, ia kehilangan arah, sandaran, dan masa lalu sekaligus.

Baca Juga  Hadirkan Pakar Teknologi, PC PERGUNU Buleleng Bekali Guru Kemampuan Merancang Media Digital

Pertumbuhan yang Dipaksa

Sejak sore yang merenggut itu, hidup tak lagi mengenal kata ‘biasa’. Langit kehilangan kedalaman jingganya, dan udara sore terasa lebih dingin, lebih tajam dari biasanya. Anak laki-laki itu, yang baru mengecap usia dua puluh lima tahun, mendadak harus tumbuh dengan kecepatan yang tidak wajar.

Ayah telah pergi, tiang utama keluarga telah dicabut. Ibu jauh di negeri asing, menahan rindu dan duka dalam keterasingan. Dan kini, hanya ia yang berdiri di tengah puing-puing keluarga yang mendadak kehilangan kompas.

Ia tidak diberi pilihan. Hanya peran yang harus diambil: peran sebagai jangkar, sebagai pelindung, sebagai kepala keluarga.

Tidak ada sekolah yang mengajarkan bagaimana rasanya kehilangan, lalu harus berdiri tegak menggantikan sosok yang tak tergantikan. Tidak ada buku panduan tentang bagaimana menenangkan adik yang air matanya tumpah tanpa jeda dan matanya yang menyimpan bayangan trauma. Ia harus belajar bagaimana memeluk adiknya, menenangkan mimpi buruknya, dan mengisi kekosongan yang ditinggalkan ayah semuanya sambil mati-matian menahan gelombang tangis sendiri agar tetap terlihat seperti batu karang.

Dunia, dengan segala tuntutannya, tidak menyediakan ruang bagi anak laki-laki untuk berlama-lama berduka. Ia dituntut kuat, meski dadanya gemetar seperti ranting rapuh; ia harus tegar, meski jiwanya retak dan pecah di dalam.

Kelahiran Sang Pahlawan Sunyi

Namun dari palung kepedihan itulah lahir keteguhan yang tak terduga.

Ia menemukan bahwa kekuatan sejati ternyata bukanlah tentang menolak air mata, melainkan tentang keberanian untuk tetap melangkah bahkan ketika air mata itu sudah tak terbendung, jatuh membasahi kerah kemeja. Menjadi “superman” bukan berarti tidak pernah jatuh atau terluka tetapi memilih untuk bangkit, berulang kali, demi mereka yang masih membutuhkan sandaran untuk bernapas.

Baca Juga  Jeritan Tumpang Pitu: Dua Puisi Wahyu Candra Kurniawan tentang Alam yang Terluka

Kini, mimpi-mimpi yang dulu hanya milik pribadinya telah menjelma menjadi mimpi bersama, diikat oleh tali kasih dan tanggung jawab. Setiap langkah di jalanan kota yang padat adalah bentuk doa untuk ayah yang telah tenang, untuk ibu yang menahan rindu di negeri jauh, untuk adik yang sedang belajar kembali tersenyum tanpa rasa takut saat senja datang.

Dalam setiap rasa lelah yang menusuk, ada bayangan ayah yang seolah masih hadir: dalam nasihat bijak yang teringat di tengah kebimbangan, dalam ketenangan yang dulu selalu ia bawa pulang setiap sore.

Anak pertama sering kali tidak dilahirkan untuk menjadi pahlawan yang disorot, tetapi keadaanlah yang menjadikannya demikian. Ia kini adalah jangkar keluarga, berdiri kokoh di tengah badai, menjaga agar kapal kecil itu tetap mengapung meski satu layar penting telah sobek. Ia mungkin tak sekuat ayahnya, tapi di setiap langkahnya ada cinta yang tak kalah besar cinta yang membuatnya tetap bertahan, meski dunia terasa begitu sunyi dan bebannya begitu berat.

Sore menjelang malam itu menjadi titik balik: dari kehilangan menjadi pembentukan, dari duka yang dalam menjadi tekad yang membara. Karena pada akhirnya, menjadi superman bukan tentang memiliki kekuatan luar biasa, melainkan tentang terus berjuang bahkan ketika hati sendiri nyaris menyerah. Tentang menjadi manusia yang memilih bertahan, meski kehilangan telah merenggut separuh jiwanya.

Dan di bawah langit senja yang sama, seseorang kini melangkah lagi. Tidak sekuat ayahnya dulu, tapi dengan hati yang telah ditempa oleh badai kehilangan, dan cinta yang kini menjadi warisan paling berharga yang ia bawa ke mana pun ia pergi.

Penulis: Wahyu Candra KurniawanEditor: Arahnesia Editorial