Jeritan Tumpang Pitu: Dua Puisi Wahyu Candra Kurniawan tentang Alam yang Terluka

Jeritan Tumpang Pitu: Dua Puisi Wahyu Candra Kurniawan tentang Alam yang Terluka

Arahnesia.ID – Jeritan Tumpang Pitu: Dua Puisi Wahyu Candra Kurniawan tentang Alam yang Terluka

BUKIT DI GALI, MASA DEPAN DIPERTARUHKAN

Dulu bukit ini hafal doa para nelayan,
setiap subuh angin laut membawa harap,
perut bumi masih utuh,
dan hutan menyimpan mata air seperti rahasia yang dijaga bersama.

Sekarang bukit itu disayat pelan-pelan,
bertingkat, rapi,
seolah luka pun harus efisien.
Tanah dibuka,
emas dicari,
dan suara alat berat menggantikan burung yang pergi tanpa pamit.

Katanya ini kemajuan.
Katanya demi ekonomi.
Katanya demi lapangan kerja.
Tapi ibu-ibu di pesisir masih bertanya lirih,
kenapa air sumur mulai asin,
kenapa banjir lumpur datang lebih sering daripada ikan.

Kami tak pernah menolak hidup yang lebih baik,
kami hanya takut
harga yang dibayar terlalu mahal
untuk generasi yang belum lahir.
Sebab bukit yang habis tak bisa ditanam kembali,
laut yang rusak tak mengenal kata maaf.

Tumpang Pitu bukan angka di laporan,
bukan grafik produksi,
ia tubuh alam yang pernah memberi makan
tanpa meminta imbalan.

Jika suatu hari tambang selesai dan pergi,
apa yang tersisa?
Lubang, debu, dan janji yang tak lagi bisa dipertanggungjawabkan.

Kami hanya ingin satu hal sederhana:
hidup layak tanpa mengorbankan rumah kami sendiri.

***

BUKIT YANG DIKORBANKAN

Bukit ini dulu penyangga doa dan hujan,
akar-akar menahan tanah
agar laut tak menerima amarah gunung.
Sekarang ia dipotong seperti grafik di ruang rapat,
dingin, rapi,
tanpa suara warga di dalamnya.

Tumpang Pitu diajari bersabar
atas nama investasi,
atas nama angka-angka yang tak pernah tinggal di sini.
Hutan ditebang,
lapisan bumi dikupas,
dan kita disuruh percaya:
semua sudah dikaji.

Baca Juga  Ketika Langit Meminta Seseorang Menjadi Superman

Tapi bencana tak baca dokumen amdal.
Longsor tak kenal istilah izin.
Air bah tak peduli siapa pemegang saham.
Ia hanya tahu
bukit sudah lemah,
akar sudah hilang,
dan hujan jatuh tanpa penyangga.

Hari ini emas diangkut truk demi truk,
besok siapa yang mengangkut ketakutan
saat tanah bergerak pelan di musim hujan?
Saat abrasi mendekat rumah,
saat sawah berubah lumpur,
saat anak-anak bertanya
kenapa alam tak lagi ramah.

Kami bicara soal masa depan,
tapi yang dihitung cuma umur tambang.
Setelah itu apa?
Masyarakat diwarisi lubang,
lingkungan diwarisi trauma,
dan negara diwarisi masalah panjang.

Alam bukan musuh yang harus ditaklukkan,
ia penopang hidup yang kalau runtuh
akan menyeret semua,
tanpa pandang kaya atau miskin.

Jika hari ini kita menutup mata,
maka kelak
bencana bukan lagi kemungkinan,
melainkan utang
yang dibayar oleh generasi
yang tak pernah diajak bicara.

Biodata Penulis :

Wahyu Candra Kurniawan merupakan pemuda asal Muncar, Banyuwangi yang dikenal aktif dalam bidang kemahasiswaan dan gerakan aktivisme. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum HMI Cabang Singaraja.

(*)