Hadirkan Pakar Teknologi, PC PERGUNU Buleleng Bekali Guru Kemampuan Merancang Media Digital

Arahnesia.ID – Langit Buleleng pada Ahad pagi, 7 Desember 2025, tampak cerah, seolah merestui semangat yang membara di Aula MIN 2 Buleleng. Tidak seperti akhir pekan biasanya yang digunakan untuk beristirahat, pagi itu puluhan kendaraan memadati area parkir madrasah. Puluhan pasang sepatu melangkah bergegas menuju aula, membawa serta harapan dan dahaga akan ilmu pengetahuan baru.

Suasana di dalam aula terasa berbeda. Udara dipenuhi oleh dengungan percakapan antusias, denting laptop yang dinyalakan, dan sapaan hangat antar-peserta. Ini bukan sekadar pertemuan, ini adalah sebuah pergerakan. Diinisiasi oleh Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Kabupaten Buleleng, kegiatan bertajuk “Peningkatan Kompetensi Digital Guru Madrasah” ini menjadi tonggak baru bagi pendidikan Islam di wilayah Bali Utara.

Di tengah pesatnya laju teknologi yang kerap kali meninggalkan yang lambat beradaptasi, para guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Buleleng hari ini memilih untuk tidak menyerah. Mereka hadir untuk menantang diri sendiri, membuktikan bahwa dedikasi guru tidak luntur dimakan zaman, melainkan justru semakin berkilau dengan adaptasi teknologi.

Sebelum materi teknis dimulai, acara dibuka dengan nuansa yang sangat menyentuh hati. Ketua Pergunu Buleleng, H. Lewa Karma, M.Pd., memberikan sambutan sekaligus membuka kegiatan dengan wajah berbinar. Dalam sambutannya, beliau tidak hanya berbicara sebagai seorang pimpinan organisasi, tetapi sebagai seorang pendidik yang peduli pada masa depan rekan-rekannya.

Ketua Pergunu Buleleng, H. Lewa Karma, M.Pd., menyampaikan bahwa meskipun zaman berubah dan metode mengajar harus menyesuaikan perkembangan, niat untuk mencerdaskan anak bangsa tetap tidak boleh berubah.

Beliau menegaskan visi besarnya, membawa seluruh Guru Madrasah dan Guru PAI di Buleleng untuk “melek teknologi”. Menurutnya, teknologi bukanlah musuh yang harus ditakuti, melainkan alat (wasilah) untuk menyampaikan ilmu agama dan pengetahuan umum dengan lebih efektif. Antusiasme beliau menular ke seluruh peserta, membakar semangat mereka untuk beradaptasi dengan teknologi pembelajaran modern.

Suasana menjadi semakin khidmat dan emosional karena kegiatan ini juga dirangkai sebagai peringatan Hari Guru Nasional (HGN). Di dalam Aula MIN 2 Buleleng sebuah kue ulang tahun telah disiapkan. Prosesi pemotongan kue tidak dilakukan dengan hura-hura, melainkan diiringi dengan lantunan Sholawat Nabi yang menggema syahdu ke seluruh penjuru ruangan.

Pemotongan kue oleh Ketua Pergunu Kab. Buleleng dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional | Sumber foto : Arahnesia Editorial

Momen ini menjadi simbolis perpaduan antara tradisi spiritual santri dan kemajuan zaman modern. Acara pembukaan kemudian dipungkasi dengan doa yang dipimpin oleh Kiyai Maksum Amin. Dengan khusyuk, beliau melangitkan harapan agar ilmu yang didapat hari ini menjadi ilmu yang nafi’ (bermanfaat) dan barokah, serta agar para guru senantiasa diberikan kekuatan untuk mendidik generasi penerus.

Menghadirkan Pakar: Jembatan Menuju Dunia Digital

Demi mewujudkan visi besar digitalisasi madrasah, panitia tidak main-main dalam memilih narasumber. Dua sosok ahli dihadirkan di tengah-tengah peserta: Agus Dwi Santoso, S.Pd., M.Pd. dan Acep Taufik Hidayat, S.Pd., M.Kom.

Pemateri workshop, Acep Taufik Hidayat, S.Pd., M.Kom. (Kiri, batik coklat) dan Agus Dwi Santoso, S.Pd., M.Pd (Kanan, memegang Piagam) | Sumber foto : Arahnesia Editoroial

Kedua nama ini bukan sekadar praktisi, melainkan edukator yang memahami betul celah psikologis yang sering dialami guru saat berhadapan dengan teknologi. Mereka memiliki reputasi dalam menjembatani kerumitan bahasa pemrograman dan teknis IT menjadi bahasa yang renyah dan mudah dicerna oleh kalangan awam, khususnya para pendidik.

Agus Dwi Santoso, S.Pd., M.Pd. membawa energi dinamis dengan kepakaran di bidang Teknologi Pendidikan. Sementara itu, Acep Taufik Hidayat, S.Pd., M.Kom. dikenal dengan pendekatannya yang sistematis dan tenang. Ia memiliki kemampuan membedah struktur website yang rumit menjadi langkah-langkah sederhana. Kombinasi kedua narasumber ini menciptakan keseimbangan yang sempurna, satu berfokus pada produk (website), dan satu berfokus pada proses berpikir (coding).

Kredibilitas mereka tidak hanya terlihat dari gelar atau sertifikasi, tetapi dari cara mereka berinteraksi. Tidak ada istilah teknis yang menggurui. Yang ada hanyalah diskusi hangat, di mana mereka memposisikan diri sebagai mitra belajar, bukan instruktur yang berjarak.

Coding dan Logika Berpikir Komputasional

Tensi intelektual dan semangat membara terasa di Aula itu. Sesi pertama Workshop ini bertajuk “Media Pembelajaran Berbasis Coding”. Bagi sebagian besar guru Madrasah, kata “Coding” terdengar asing dan mengintimidasi. Namun, Agus Dwi Santoso berhasil mengubah ketakutan itu menjadi rasa ingin tahu yang besar.

Baca Juga  HMI Komisariat FMIPA Cabang Singaraja Resmi Dilantik, Raker 2025/2026 Usung Revitalisasi Tata Kelola dan Budaya Intelektual

Intisari dari sesi ini bukanlah mencetak guru menjadi programmer profesional yang bekerja di perusahaan rintisan (startup), melainkan menanamkan Computational Thinking (Berpikir Komputasional).

Materi coding disampaikan dengan pendekatan blok visual (seperti Scratch) di mana guru tidak perlu menghafal sintaks bahasa pemrograman yang rumit. Mereka cukup menyusun logika seperti menyusun kepingan puzzle.

Dalam sesi coding itu, para guru tidak belajar soal perintah komputer dan baris kode, melainkan mereka berlatih mengasah cara berpikir. Setiap instruksi harus runtut, jelas, dan logis—seperti bagaimana guru membimbing murid langkah demi langkah hingga paham. Di ruang Aula yang penuh semangat itu, coding menjadi semacam latihan otak untuk memecah persoalan besar menjadi potongan kecil yang lebih mudah ditangani.

Ketika error muncul di layar, suasana tidak berubah menjadi panik, justru sebaliknya—semua tertawa kecil dan mencoba lagi. Di situlah nilai berharga terselip, bahwa salah bukan akhir dari proses belajar. Ada pesan kuat yang ingin ditanamkan pemateri kepada para guru, kegagalan bukan hal yang memalukan, justru merupakan bagian penting dari perjalanan menuju pemahaman. Mentalitas inilah yang suatu hari ingin mereka wariskan kepada murid-murid mereka.

Dan lebih dari sekadar latihan menulis kode, pertemuan itu mengingatkan betapa pentingnya kemampuan berpikir komputasional bagi generasi muda. Di tengah derasnya teknologi, para siswa tidak boleh hanya menjadi penonton atau pengguna pasif TikTok dan Instagram. Mereka harus tumbuh menjadi pencipta, inovator, dan pemikir masa depan. Dari baris kode sederhana yang ditulis hari itu, tersimpan harapan besar bahwa suatu saat nanti, dari ruang madrasah yang sederhana, lahir anak-anak bangsa yang mampu menaklukkan dunia digital dengan kepintaran dan kreativitas mereka.

Para guru tampak asyik menyeret blok-blok kode di layar mereka, membuat karakter kucing bergerak, atau membuat program matematika sederhana. Gelak tawa pecah ketika kode yang mereka buat tidak berjalan sesuai rencana, namun justru di situlah proses belajar terjadi secara organik.

Suasana Workshop di Aula MIN 2 Buleleng | Sumber foto : Arahnesia Editorial

Website sebagai “Rumah Digital” Guru

Materi kedua yang dibedah adalah pembuatan website. Dalam sesi ini, paradigma lama bahwa “membuat website itu hanya untuk programmer” diruntuhkan seketika.

Narasumber membuka wawasan bahwa di era digital ini, website adalah “Rumah Digital” bagi seorang guru. Jika ruang kelas adalah tempat fisik di mana interaksi terjadi, maka website adalah ruang tanpa batas waktu dan tempat di mana ilmu guru bisa terus mengalir.

Jika sebelumnya teknologi dianggap identik dengan “internet kencang” dan “kuota mahal”, kedua narasumber, Acep Taufik Hidayat, M.Kom hadir membawa sebuah antitesis yang mengejutkan: Membangun Ekosistem Pembelajaran Daring Tanpa Internet (Offline/Intranet).

Ini adalah momen “aha!” bagi banyak peserta. Sebagai guru madrasah yang sebagian bertugas di pelosok Buleleng, momok terbesar mereka bukanlah ketidakmampuan mengajar, melainkan “lingkaran loading” yang berputar tanpa henti di layar gawai siswa karena sinyal yang timbul tenggelam.

Narasumber memaparkan konsep yang terdengar seperti angin segar, mengubah paradigma dari ketergantungan pada server global menjadi kemandirian server lokal.

Baca Juga  Gempa 6,0 Guncang Ambon, Warga Panik dan Keluar Gedung

“Bapak dan Ibu tidak perlu lagi mendengar alasan siswa kehabisan kuota,” ujar pemateri yang disambut anggukan lega para peserta.

Pemateri memperkenalkan Moodle yang dikonfigurasi dalam jaringan lokal (Intranet/Offline). Dengan skema ini, madrasah dapat menciptakan “penyimpanan awan digital (Cloud Storage)” sendiri. Siswa cukup menyambungkan gawai mereka ke Wi-Fi lokal madrasah tanpa perlu akses internet dari provider. Sebuah solusi cerdas untuk menjembatani kesenjangan digital di sekolah-sekolah yang kesulitan sinyal. Teknologi ini hadir bukan untuk memperumit, melainkan sebagai jawaban atas doa para guru yang ingin muridnya tetap maju meski infrastruktur terbatas.

Tidak hanya berbicara infrastruktur, sesi ini juga mengajak guru menyingsingkan lengan baju untuk menjadi “koki” konten pembelajaran yang lezat. Platform Moodle tidak dibiarkan kosong melompong, para guru diajarkan mengisinya dengan fitur-fitur canggih namun mudah digunakan seperti Moodle Book & Chapter.

Peserta diajak meninggalkan metode mengirim file PDF panjang yang membosankan di WhatsApp. Melalui fitur Book dan Chapter, guru belajar menyusun materi layaknya sebuah buku interaktif yang rapi, terstruktur per bab, dan mudah dinavigasi siswa. Materi ajar tidak lagi menjadi tumpukan teks yang menakutkan, melainkan menjadi bacaan yang mengalir dan menyenangkan.

Di penghujung materi Moodle, narasumber mendemonstrasikan bagaimana teknologi bisa mengambil alih tugas-tugas administratif yang melelahkan, sehingga guru bisa kembali fokus pada mendidik karakter siswa.

Guru diajarkan membuat kuis pilihan ganda yang nilainya langsung keluar seketika siswa selesai mengerjakan menggunakan fitur Asesmen Otomatis (Multiple Choice & Upload Tugas). Tak ada lagi lembur memeriksa tumpukan kertas koreksian di akhir pekan. Fitur upload tugas juga memastikan portofolio siswa tersimpan rapi secara digital, tidak tercecer ataupun hilang.

***

Antusiasme peserta tak hanya berhenti pada tataran teori di layar proyektor. Sesi tanya jawab menjadi arena diskusi yang hangat, tempat di mana keraguan-keraguan teknis di lapangan disuarakan secara jujur.

Salah satu pertanyaan kritis muncul dari seorang peserta. Dengan nada yang mewakili kegelisahan banyak rekan sejawatnya, ia bertanya mengenai realisasi materi canggih tersebut di sekolah-sekolah kecil.

“Materinya luar biasa, Pak. Tapi jujur, kami khawatir soal penerapannya. Jika setiap madrasah harus menyewa hosting sendiri, mengelola server sendiri, dan membeli domain sendiri, tentu biayanya berat dan kami kekurangan SDM teknis. Bagaimana solusi konkret agar teknologi Moodle dan Website ini benar-benar bisa kami terapkan, bukan hanya jadi wacana setelah pelatihan usai?”

Pertanyaan ini menukik langsung ke jantung permasalahan, kesiapan infrastruktur dan sumber daya. Namun, kekhawatiran itu segera terjawab dengan sebuah solusi strategis yang melegakan.

Bak gayung bersambut, solusi atas keresahan tersebut ternyata sudah disiapkan dengan matang. Di sinilah peran strategis H. Lewa Karma, M.Pd., menjadi kunci. Kapasitas beliau yang unik—sebagai Ketua Pergunu Buleleng sekaligus Kasi Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag Buleleng—memungkinkan lahirnya kebijakan yang integratif.

Dalam forum tersebut, tercetuslah gagasan besar untuk melakukan digitalisasi secara “Guyub” (bersama-sama/kolektif). Tidak ada madrasah yang dibiarkan berjuang sendirian.

Rencananya, di bawah komando Seksi Pendis Kemenag Buleleng dan Pergunu, akan dibangun satu infrastruktur pusat (Centralized Web Hosting) yang terintegrasi. Sistem ini akan memayungi seluruh Guru dan Madrasah di bawah naungan Pendis Buleleng. Ekosistem digital ini dirancang mencakup tiga pilar utama:

  1. LMS (Learning Management System): Untuk kegiatan belajar mengajar daring yang terpusat.

  2. CMS (Content Management System): Untuk pengelolaan website profil dan berita madrasah.

  3. OJS (Open Journal Systems): Wadah publikasi karya tulis ilmiah guru, mendorong budaya literasi akademik.

Baca Juga  Tingkatkan Kompetensi Akademik, Ratusan Dosen dan Mahasiswa UNIPAS Ikuti Workshop Pemanfaatan AI untuk Karya Ilmiah

Gagasan besar tersebut mendapatkan dukungan teknis yang kokoh. Acep Taufik Hidayat, yang juga merupakan Dosen di STMIK Bandung Bali, langsung memberikan respon positif atas pertanyaan peserta tadi.

Mewakili institusinya, Acep menegaskan bahwa STMIK Bandung Bali siap berdiri di garis depan sebagai mitra strategis penerapan digitalisasi madrasah di Buleleng. Komitmen ini bukan sekadar janji manis, melainkan tawaran pendampingan menyeluruh.

“Kami di STMIK Bandung Bali siap mengawal Bapak/Ibu sekalian. Kami siap mambantu dan mejadi mitra Bapak/Ibu semua mulai dari instalasi teknis ekosistem digitalnya hingga menyala, sampai pada pelatihan soft-skill bagi gurunya,” ujar Acep dengan mantap.

Ia menekankan bahwa memiliki alat saja tidak cukup. Oleh karena itu, STMIK Bandung Bali akan memfasilitasi pelatihan berkelanjutan tentang pembuatan konten pembelajaran berbasis digital. Tujuannya agar sistem canggih yang dibangun oleh Kemenag dan Pergunu nantinya benar-benar hidup di tangan guru-guru yang kompeten dalam meracik materi ajar modern.

Sinergi segitiga emas antara Regulator (Kemenag/Pergunu), Akademisi (STMIK Bandung Bali), dan Praktisi (Guru Madrasah) ini menjadi angin segar yang menjanjikan masa depan cerah bagi pendidikan Islam di Bali Utara.


***

Foto bersama usai Workshop | Sumber foto : Arahnesia Editorial

Suksesnya sebuah acara pelatihan tidak hanya bergantung pada materi, tetapi juga pada pelayanan panitia. Dalam hal ini, panitia Workshop Pergunu ini patut diacungi jempol.

Peserta dimanjakan dengan fasilitas yang sangat lengkap. Dokumentasi  telah disiapkan oleh panitia, Konsumsi mulai dari makanan ringan, minuman seperti kopi, teh dan susu untuk mengisi sesi Coffe Break sampai makan siang sehingga para guru dapat mengikuti setiap sesi dengan tenang dan fokus tanpa harus sibuk mengambil swafoto untuk mengabadikan momen atau repot berfikir mau makan dimana.

Selain itu, sertifikat pelatihan yang diterima menjadi bukti sekaligus pengingat manis bahwa mereka pernah menjadi bagian dari gerakan perubahan ini.

***

Matahari mulai condong ke barat ketika acara mendekati akhir. Namun, energi di Aula MIN 2 Buleleng belum surut. Wajah-wajah lelah para guru tertutup oleh senyum kepuasan. Mereka pulang tidak dengan tangan hampa. Di dalam laptop mereka kini tersimpan draft website pertama mereka. Di dalam kepala mereka, tertanam logika baru tentang coding. Dan di dalam hati mereka, tersimpan kenangan manis perayaan Hari Guru yang penuh berkah solawat.

Kegiatan ini hanyalah sebuah pemantik. Tantangan sesungguhnya ada di ruang-ruang kelas esok hari. Apakah website itu akan terus diisi? Apakah logika coding itu akan diajarkan ke siswa?

Seluruh jajaran Pergunu Buleleng dan Pantia Pelaksana menitipkan pesan penutup yang kuat berupa ajakan untuk meningkatkan kompetensi digital secara berkelanjutan. Jangan berhenti di aula ini. Jadikan teknologi sebagai sayap untuk menerbangkan kualitas pendidikan Islam di Buleleng setinggi-tingginya.

Ahad, 7 Desember 2025, akan dikenang sebagai hari di mana guru-guru madrasah di Buleleng menolak untuk usang. Mereka telah membuktikan bahwa sorban dan peci bisa berjalan beriringan dengan coding dan cloud computing. Dari Buleleng, cahaya pendidikan modern yang berakar pada tradisi mulai bersinar semakin terang. ***